Derita ‘Sepupu Manusia’ Tanpa Rimba


By A.Alexander Mering


KAMI berjanji akan bertemu di tengah rawa. Tepatnya di tengah-tengah padang gambut, Desa Rasau Jaya yang kini sudah resmi menjadi bagian dari Kabupaten Kubu Raya. Jaraknya hanya beberapa kilometer dari Kota Pontianak.
Ini bukan pertemuan biasa, Samson dan Maya juga pasti tak mengenal saya. Maya bahkan baru tiba dari Kabupaten Sintang sepekan lalu.

Pantas saja Yuliantini, rekan dari Species Officer World Wildlife Fund Indonesia (WWF) yang menginisiasi perjumpaan kami tak hanya mengajak saya, tetapi juga memboyong Kiky Wuysang, salah satu photographer Pontianak.
Saya sempat menanti beberapa saat sebelum Jefri Dahrin dari kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Kalbar dan Yuli nongol. Dari pada bosan menunggu Kiky yang kesasar mencari kantor KSDA, Saya menjepret anggrek di bongkol pohon besar di depan Kantor KSDA, Jl Ayani itu. Sementara Yuli memotret pohon belian sebelum kami bertolak.

Sebelum menjadi bagian dari Kubu Raya, Rasau jaya adalah sebuah kecamatan yang terletak di hamparan gambut. Sebelum pemekaran, kawasan ini merupakan bagian administratif Kabupaten Pontianak yang berpusat di Mempawah. Meski terletak di Kabupaten, tapi Rasau Jaya adalah sebuah kawasan pertanian yang paling dekat dengan Kota Pontianak, selain Kakap. Luas kawasannya sekitar 111,07 meter persegi dengan jumlah penduduk 21.501, pada tahun 2005. Dari sinilah sebagian besar kebutuhan sayur-mayur dan buah-buahan warga Pontianak dipasok.

“Jadi kita akan berjumpa mereka di mana?” tanya saya.
“Ya, di sana?” kata Yuli.

Saya bengong, karena masih tak faham. Entah bagaimana Samson dan Maya bisa terjeblos ke markas Manggala Agni. Pasukan pemadam kebakaran api, tepatnya di kantor KSDA, brigade Pengendalian Kebakaran Hutan Daerah Operasi Pontianak (DOP), Rasau Jaya. Pasukan pemadam api kok gasuh bayi?

***
Namanya Sabirin, masih sangat muda. Umurnya saja baru 19 tahun lebih. Tapi karena ekonomi keluarga yang kurang memungkinkan, pemuda asal Desa Teluk Pak Kedai ini tak melanjutkan pendidikan. Sabirin akhirnya mendaftar menjadi anggota Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan Daerah Operasi Pontianak di bawah Kantor KSDA.

“Setamat SMA Bhayangkara, saya langsung melamar kerja di sini,” ujarnya.
Saya mewawancarinya di teras dapur kantor DOP Pontianak, Rasau Jaya sambil mengawasi Samson yang berayun-ayunan dengan karung goni plastik, di antara celah jeruji besi. Sedangkan Maya bermalas-malasan sambil meneguk sisa susu di botolnya. Maya berumur 5 tahun, dia lebih tua dari Samson yang bulan ini baru berumur 1,4 tahun. Tapi Samson sudah lebih lama tinggal di sana bersama pasukan. Menurut Sabirin Samson bergabung dengan mereka di sana sejak 4 lalu. Nah, di situlah kami bertemu untuk memotretnya.

“Tepatnya bulan Maret lalu, bang. Ia diantar oleh petugas dari KSD Kabupaten Sintang.”
“Tapi bagaimana cara kalian mengasuhnya? Apakah kalian pernah diberi pelatihan merawat orangutan?”
“Tidak pernah, hanya belajar dari pengalaman saja,” tukasnya.

Sabirin pemuda sederhana dan rendah hati. Sebagai anggota Manggala Agni, ia hanya menerima honor Rp 600 ribu, ditambah uang makan Rp 5000 sehari. Demikian juga Sunarya, rekannya sesama anggota pasukan yang turut bertanggungjawab merawat Samson dan Maya. Bahkan Sunarya lebih senior dari Sabirin bahkan dalam hal merawat satwa tersebut. Keduanya melakukan tugas sebaik mungkin, bahkan merawat Samson nyaris seperti adiknya sendiri, walau Samson hanya seekor bayi orangutan. Sekarang keduanya sama-sama merawat Maya.

Di bulan-bulan pertama kedatangan Samson, Sunaryalah yang paling repot. Tak jarang ia harus bangun tengah malam untuk menenangkan tangis Samson atau sekadar memberinya susu. Menurut Saya Sunarya adalah pemuda yang sabar.

“Bagaimana cara menenangkannya kalau sudah demikian?”
“Saya usap-usap kepalanya, seperti mengusap anak kecil, barulah dia diam dan tidur kembali,” terang Sunarya yang memang ditugaskan pimpinannya merawat Samson dan Maya bersama Sabirin.

Sementara di sekitar kami Kiky sibuk mengambil photo sebanyak-banyaknya.
“Kalau kita tak lambat memberinya susu, Samson menangis sambil membanting-banting tubuhnya ke tanah,” tambahnya.

Tangis Samson memang tak mirip bayi manusia, karena cuma lengkingan tak jelas, yang trasa menyayat saat Sunarya melintasi kandang dan pura-pura ogah memberinya susu.
Maya pura-pura tak peduli, tapi matanya mendelik, tahu kalau ada sesuatu yang sedap untuk disantap.

Meski pun mandi dengan sabun wangi dan disampho 2 hari sekali serta diperlakukan dengan baik oleh petugas manggala agni, tapi hidup Samson dan Maya tentulah tidaklah senyaman ketika berada di habitat aslinya. Mereka tak cuma telah tercerabut dari rumahnya di hutan Borneo, tapi juga terpisah dari keluarga. Padahal bayi Samson tentu masih sangat memerlukan orang tuanya seperti bayi manusia.

Tak ada di antara petugas di sana yang mengetahui persis riawat Samson dan Maya. Sabirin dan Sunarya pun tidak tahu, demikian juga pak Jef atau Usman, Kepala DOP. Mereka hanya mengetahui kalau Samson diambil dari sebuah desa di Kabupaten Kapuas Hulu. Maya pula dikirim oleh KSDA Kabupaten Sintang ke Pontianak.

Tapi yang pasti kedua satwa ini adalah bagian dari populasi Orangutan (Pongo pygmaeus pygmaeus) di kawasan Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK), Kapuas Hulu yang kini terancam punah akibat perburuan liar dan perusakan habitat karena aktivitas pembalakan hutan. WWF, Kantor Putussibau, Albertus Tjiu, pernah mengemukakan kalau illegal logging telah merusak kawasan dataran rendah, sehingga orangutan semakin tergusur dan mengungsi jauh ke pedalaman rimba.

Dampaknya pembukaan wilayah hutan terhadap pemusnahan species sangat besar, karena satwa perlahan-lahan akan turun ke daerah hilir menuju pemukiman.
Ancaman lain adalah perburuan. Baik untuk pemenuhan kebutuhan protein (daging), maupun diperdagangkan.

Dari ketiga subspecies, Pongo pygmaeus wurmbii dan Pongo pygmaeus morio, Pongo pygmaeus pygmaeus adalah yang paling terancam populasinya.
Diungkapkan Albert, berdasarkan data Population and Habitat Viability Assessment (PHVA) Orangutan tahun 2004, populasi Pongo pygmaeus pygmaeus tinggal 7.936 individu (14,10 persen), sedangkan Pongo pygmaeus morio 15.406 individu (27,40 persen), disusul Pongo pygmaeus wurmbii 32.906 individu (58,50 persen).

“Keadaan orangutan di Kalbar kian memprihatinkan, karena kita belum ada tempat khusus untuk orangutan,” kata Yuli usai berkeliling kebun jagung di belakang markas DOP bersama Pak Jefri.

Di WWF, Yuli adalah koordinator forum penegakan penanganan satwa liar untuk Kalbar. Kini ia juga sedang dikontrak Traffic Southeast Asia.
“Karena itu yang terjadi, orangutan asal Kalbar yang sempat dikirim ke pusat rehabilitasi, tak satu pun kembali ke Kalbar. Karena itu kita ingin mendorong pemerintah untuk membuat pusat rehabilitasi sendiri. Sebab yang dilakukan sekarang adalah terpaksa menitipkan satwa-satwa ini ke kebun binatang, ke pemilik taman hiburan.”
Selain itu, dalam penangananya para orangutan tersebut mestinya ditangani oleh orang yang ahli, seperti dokter dan juga psikologi khusus orangutan.

“Contoh, apakah petugas tahu kalau orangutan itu monogami? Jika dipisahkan dari pasangannya maka ia akan mati,” tambahnya.
Saya termangu mendengar wejangan Yuli. Entah bagaimana nasibmu kelak wahai ‘sepupu’ manusia. Samson dan Maya jadi begini pun karena lembaga yang berwenang di Kalbar tak ada lembaga yang secara khusus menanganinya. Akibatnya mereka dijebloskan begitu saja ke dalam sangkar besi dilas dan dikunci digembok.
Di-sorok-kan di emperan tuturan atap kantor DOP. Jika hujan pastilah Samson yang masih kecil kedinginan, begitu juga Maya. Pastilah tidak cukup karung platik yang diletakkan di sana untuk menghindari percikan hujan.

Saya melirik ke kandang Samson yang lebih kecil dari yang ditempati Maya. Lalat menghitam dalam kandang, terbang dan hinggap di sisa makanan dan bekas kotorannya.
Betapa menderitanya Samson dan Maya. Sabirin menuturkan, 4 hari sebelum kami bertemu mereka, Samson sempat dirawat karena demam dan sakit perut. Beberapa hari ia kelihatan lemah dan menolak makan-minum susu. “Padahal biasanya ia makan paling kurang 4 bongkol jagung dan minum susu kaleng 3 kali sehari,” papar Sabirin.

“Baru Senin kemarin dia mulai siuman dan main-main lagi,” tambah Sunarya.
Sesekali Samson dibawa jalan-jalan ke lapangan, di sekitar kantor DOP.
“Ia sangat manja, bila capek, langsung minta gendong.”
“Ya, tingkahnya mirip anak-anak. Pandai menangis dan merajuk.”

Saya menatap Samson di kurungannya. Ia mulai lelah bermain. Susu dalam botol yang tadi disodorkan Sunarya, sebagian tumpah. Maya sudah lama terlelap.
Kubidikan sekali lagi moncong kamera, ke arah Samson. Sambil berbaring ia menatapku lagi dari balik terali itu. Matanya yang dalam, seperti ingin mengatakan sesuatu yang menyakitkan. Klik! Hari ini entah sudah berapa kali Saya menjepretnya, mengabadikan sejarah pedih salah satu species yang termangsa. TEXT PHOTO: Ancaman terhadap lingkungan dan populasinya menyebabkan Maya dan Samson tercerai dari keluarganya. Tercerabut dari Hutan Kalimantan yang selama ini menjadi rumahnya. Kini anak orangutan malang tersebut menanti nasibnya di Rasau Jaya. Takdir mereka sekarang di tangan petugas KSDA, pemerintah, aktivis lingkungan dan pencinta satwa. All Photo by Mering.(publish in Borneo Tribune 5 Pebruari 2007)
Next Post Previous Post