Soeharto, Kalbar dan Kisah Bendera

by A.Alexander Mering

Seminggu sebelum suharto mangkat, saya menulis artikel berjudul Geger Paman Gober.
Artikel itu pendek dan ditulis tergesa-gesa untuk menutupi kekosongan bener bawah halaman Sastra Minggu di Borneo Tribune. Kebetulan hari itu, Kolom Mat Belatong sedang Kosong, karena tak ada yang mengambil disket ke rumah pak Alim Ramli, Penulis kolom tersebut.
Saya tergelitik pada aksi Butet Kartarajasa ketika mementaskan Cerpen Seno berjudul Kematian Paman Gober dan juga rasa kesal saya pada Suharto. Rasanya sangat pas dengan kondisi waktu itu. Sebenarnya saya sendiri ingin menulis lebih panjang, tapi waktu dan deadline membelenggu kedua kaki saya.
Saya jengkel karena semua media di republik (yang dipuja puji 'sebagian' rakyatnya) ini terus menerus menyiarkan kebaikan suharto, seakan dia nabi tiada cela.
Tadi pagi, di rumah saya berdebat dengan keluarga, karena dia memasang bendera setengah tiang, sebagaimana imbauan penguasa.
"Dia itu bukan Presiden Kalbar, dia hanya presiden Jakarta dan beberapa daerah. Kalbar dibangunnya asal-asalan, menjarahnya ya ada. Hutan dibabat bersama kroni dengan dukungan militernya. Bayangkan, Kantor Bupati Kapuas Hulu pun masuk dalam kawasan Hutan Produksi. Gila!" kata saya.
Istri saya melongos. Dia orang polos. Kata orang Pontianak bujur arus! Tapi dia tak suka saya bicara begitu. Dia mendabat saya.
"Tapi dia sudah mati, orang mati perlu di hormati".
"Saya menghormatinya, tapi bukan dengan mengibarkan bendera!"
Lindu anak sulung saya yang tengah berkemas-kemas turun sekolah ikut nimbrung.
"Mengapa tak boleh mengibarkan bendera. Kan Bagus Pa?"
"Bukan tak boleh sayang, tapi tidak tepat untuk orang seperti Suharto."
Matanya mengerjab-ngerjab. Lindu memang bukan generasi era Paman Gober itu. Dia Lahir jaman Megawati. Dia juga baru kelas 2 SD. Buku sejarah versi penguasa pun juga baru sedikit merasuk ke otaknya.
Setelah pamit, saya langsung tancap gas ke Kantor. Di jalan saya teringat pada film G-30S/PKI yang diproduksi era Suharto. Terbayang oleh saya beberapa aktivis yang diculik karena menentangnya. Saya juga teringat tulisan Prof. Dr. W.F. Wertheim yang berjudul Sejarah Tahun 1965 yang Tersembunyi, tentang pertemuan Suharto dengan Kolonel Latief di R.S Gatot Subroto 4 jam sebelum peristiwa Penculikan dan pembantaian para Jendral. Lantas buku sejarah yang diperintahkan dibakar tahun 2007 lalu oleh pemerintah karena tidak menyebutkan gerakan G-30S PKI.
Walau Suharto umurnya lebih tua dari NKRI, tapi negara yang pernah diperintahnya selama 30 tahun ini juga sudah tergolong tua, 62 tahun! Tapi ironisnya jika orang Kalbar mau ke Kaltim dan Kalteng, mereka harus ke Jakarta dulu. Padahal satu daratan, satu negara, satu saudara pula! Sementara di pulau Jawa rel kereta api dibangun sepanjang pulau, membentang dari Provinsi Banten hingga Jawa Timur. Jembatan tol dan jembatan layang silang-menyilang. Apakah benar Kalbar bagian dari NKRI jika dilihat dari sudut pandang pembangunan?
Tiba di kantor saya langsung buka internet. Eh, saya temukan wawancara Detikom dengan Eros Jarot, Budayawan yang kini menjadi Ketua Umum PNBK Indonesia. Rupanya dia juga jengah membaca dan melihat puja-puji di media kepada Suharto yang sudah tak proporsional.

"Kantor partai saya, taat hukum. Tapi, karena penyelesaian hukum kasus Pak Harto belum selesai, maka bila bendera setengah tiang dikibarkan, maka berarti itu pelecehan terhadap hukum," kata dia pada Detikom.
Keluarga Wiji Tukul juga menolak mengibarkan bendera. Tukul adalah seorang penyair yang terkenal karena aksi protesnya. Dia lenyap setelah di buru saat rezim Soeharto berkuasa. Nah, ternyata bukan cuma saya yang ogah mengibarkan bendera setengah tiang, tapi juga Jarot. Bedanya Jarot benar-benar tak mengibarkan merah putih, sementara di rumah saya bendera itu terlanjur berkibar. Alasan istri saya, tak enak pada pak RT yang membawa imbauan tersebut.
Next Post Previous Post