Sumber photo pontianak.tribunnews.com |
SAYA MERASA teman-teman saya adalah para kesatria. Terutama 4 orang yang turut dipecat bersama saya karena mempertahankan prinsip sebagai journalist. Keberanian mereka mempertaruhkan masa depan di sebuah koran lokal yang masa depannya pun baru dibayangkan adalah sebuah keberanian luar biasa.
Dada saya sering terasa penuh bila mengingatnya. Apalagi dukungan terus berdatangan, termasuk turut mundurnya Kabag Pracetak Harian Equator, Ukan, bersama sejumlah staff-nya untuk bergabung bersama kami.
Walau cukup banyak tawaran menggiurkan dari luar kepada mereka—terutama kepada H Nur Iskandar—Tapi mereka tetap bertahan pada idealisme, membangun koran daerah. Meski terkadang harus berlapar-lapar karena kurang uang dan belum punya gaji. Tapi semangat kami tak pernah surut.
Saya pun turut terbakar bersama mereka, hingga sepakatlah kami mendirikan sebuah harian harian dengan semangat Idealisme Keberagaman dan kebersamaan. Ini adalah koran serius untuk Kalimantan Barat. Mungkin ke depan untuk seluruh pulau Kalimantan, sesuai nama yang diembannya, yaitu Borneo Tribune.
Tapi pengakuan Tanto Yakobus, S.Sos di depan saya dan Dr. Yusriadi, benar-benar membuat saya terhenyak. Tanto membuat pernyataan yang hanya lazim dilontarkan oleh seorang oportunis.
“Saya di Borneo Tribune mungkin hanya sampai 2009, karena saya akan menjadi Caleg di Sekadau,” celetuknya dalam diskusi kecil di lantai 2 sekretariat sementara Borneo Tribune. Sebab kantor Borneo Tribune yang terletak di Jalan Purnama Dalam belum rampung di cat.
Selumnya kami sudah ngobrol ngaur-ngidul tentang banyak hal. Kemudian ia menambahkan kalau ia mengambil langkah itu karena ingin menjadi bupati Sekadau kelak.
Caleg adalah singkatan dari Calon Legislatif. Di Indonesia mereka biasanya berasal dari partai politik yang sangat-sangat fasih mengkalim dirinya sebagai wakil rakyat ketika terpilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) serta berjaya duduk di kursi lembaga legislatif.
Bulan di luar sana tampak sempurna. Sebagian sinarnya menembus kaca nako, tapi terhambat oleh tirai jendela yang sedikit tersibak. Aku yang berdiri dekat Yusriadi bisa melihat sedikit rembesan sinarnya jatuh ke lantai, bercampur cahaya neon dalam ruangan.
Karena udara terasa semakin dingin, saya melipat kedua tangan di dada. Tapi kami masih terus berdiskusi walau hanya bertiga. Rekan-rekan lain sudah pulang lebih dahulu setelah seharian penat menyortir ratusan lamaran yang masuk. Tak kurang dari 200 lebih lamaran.
Dalam tiga hari terakhir, awak Borneo Tribune memang sibuk merima lamaran, pasca penerbitan iklan lowongan kerja yang kami terbitkan Pontianak Pos pada Sabtu, 24 Maret lalu.
Sekali lagi saya bukan terkejut karena cita-cita Tanto itu. Siapa pun pasti berhak menjadi apa saja, termasuk menjadi bupati bukan? Yang membuat saya kaget adalah dia mengungkapkan itu justru saat teman-teman lain sedang berjuang sekuat-kuatnya mendirikan harian Borneo Tribune.
Yusriadi yang sedang menghadap laptop lantas berkomentar, “itu boleh-boleh saja, tapi sebaiknya jangan Tanto ungkapkan”.
Yusriadi sedang memeriksa tulisan Tanto tentang hari-hari terakhir di Harian Equator. Tulisan itu akan digabungkan dengan karya teman-teman lain guna dicetak menjadi sebuah buku internal kami.
Tanto yang malam itu mengenakan kaos merah duduk berselonjor di kursi kayu beralas busa, di tengah-tengah ruangan, di depan saya dan Yusriadi. Di belakangnya, di balik jendela bulan bersinar seterang-terangnya.
Cukup lama saya tergamam, karena kenyataan itu tidak saja telah menikam logika saya, tetapi juga membuat saya harus merekonstruksi ulang peristiwa 4 bulan silam. Peristiwa pengusiran saya, Yusriadi, Hairul Mickrad, Nur Iskandar dan juga Tanto dari Harian Equator, Jawa pos group.
Bukankah kami diusir diantaranya adalah karena idialisme? Dan saat nongkrong di kantin belakang Koperasi Mahasiswa (Kopma) Universitas Tanjung Pura, saya sempat membaca kata itu dalam naskah Tanto yang sekarang sedang dibaca Yusriadi. Tulisan berjudul Mosi Karyawan Berbuah Pemecatan berusaha ditampilkannya dalam bentuk narrative.
Kala mengingat peristiwa pahit itu hati saya jadi perih. Lantas saya bertanya pada Tanto yang dulu juga sudah pernah mengadu peruntungan di Partai Demokrat—menjadi Caleg di Kabupaten Sekadau tahun 2004. Ketika itu dia masih menjadi redaktur di Harian Equator. Sedangkan saya Kepala Biro Equator di Kabupaten Sanggau.
“Apakah kamu serius ingin jadi bupati?”
“Saya serius, bahkan saya sudah membeli tanah di Sekadau?”
“Apa yang membuat kamu sangat ingin jadi bupati?”
Saya bertanya demikian, karena saya sudah mengenal cukup banyak bupati di negeri ini dan bagaimana sepak terjangnya setelah berkuasa.
“Saya ingin membangun daerah saya?” ujarnya sambil senyum. Sinar bulan di belakangnya mendadak meredup. Sekelompok awan pasti sedang melintas.
Deg! Pupus harapan saya yang ingin melihat Tanto menjadi seorang wartawan idealis. Dahulu semangat inilah yang mendorong saya turut merekomendasikan Tanto untuk belajar teknik menulis narrative reporting ke Yayasan Pantau Jakarta. Sementara Yusriadi yang juga digadang-gadang berangkat bersama Tanto malah menolak halus.
Dia mengaku tak enak menggunakan uang perusahaan, sementara kerja yang kami buat belum apa-apa. Padahal berkali-kali Nur Iskandar membujuknya agar berangkat, bertolak ke tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji.
Tapi baiklah, ini sebuah realita tentu saja. Rambut boleh sama hitam tapi isinya pasti macam-macam. Saya seharusnya sudah menduga pikirannya, tetapi pasti akan lain jadinya jika ia ungkapkan dalam situasi yang berbeda, bukan ketika Borneo Tribune sedang hamil tua. Mei mendatang koran ini direncanakan sudah launching.
Tiap-tiap orang pada akhirnya memang bakal dihadapkan pada pilihan-pilihan dan masa depan. Itu adalah hak. Saya tentu tak mungkin berharap Tanto menjadi journalist edial seperti yang dikemukakan Bill Kovach dan Tom Rosentiel dalam buku Elemen Jurnalisme itu.
Seseorang terkadang memang harus berdamai dengan realitas atau dirinya sendiri untuk menentukan mana yang terbaik. Toh banyak wartawan di republik ini yang kemudian menyeberang dari profesinya untuk menjadi politikus, birkorat dan ahli korporat. Motivasinya tentu saja berbeda-beda.
Maka untuk teman saya yang satu ini, saya harus menata ulang cara berfikir saya. Cara bergaul saya dengannya, sebagai mana saya telah berdepan dengan banyak fakta yang menjadikan profesi wartawan sebagai batu loncatan untuk menjadi apa saja. Menurut pandangan beberapa kaum, itu sah-sah saja.
Saya hanya berharap Tanto akan kukuh dengan cita-citanya itu. Karena bagi saya, apa yang telah diucapkannya di ruang 3 x 6 meter, di bawah sinar Sunnyco 45 watt itu adalah sebuah doa. Doa seorang ‘utusan’ dari Landau Mentawak, kampung tempat Tanto Yakobus lahir.
Saya bilang padanya bahwa saya dan Yusriadi telah menjadi saksi bahwa jika ia benar-benar menjadi bupati kelak, dia tidak melupakan kata-katanya malam ini, yaitu membangun daerahnya!