Design by Mering |
By Wisnu Pamungkas
Usai bercinta—di suatu sore akhir Juli yang
temaram—sepasang kekasih ngebut ke Pasar Mawar, di kawasan pusat kota Pontianak.
Sepanjang jalan mereka tampak begitu bahagia membayangkan daging durian yang
lezat. Tak peduli Richard Sterling pernah menghina baunya sebagai kotoran babi,
campur terpentin, bawang dan kaus kaki1).
Tapi kemudian wanita itu menepuk pundak lelakinya.
“Abang kok buru-buru sekali?”
“Kuatir kita tak kebagian lagi?”
“Abang ni lebai…., masih banyak bah di pasar.”
“Hanya kuatir ini musim durian terakhir.”
“Kok bisa?”
“Sejak pemerintah mengijinkan durian ditebang,
orang-orang membabat pohon durian membabi-buta”.
“Oh?”
Ia dan dia terdiam, tenggelam dalam perasaan
masing-masing yang rawan, cemas karena tak akan ada lagi rasa puas usai
bercinta yang ditutup dengan makan durian bersama.
Aku teringat kata-kata Seno2) sepasang kekasih
memang tidak usah selalu bertemu, selalu berciuman, dan selalu bergumul untuk
mempersatukan diri mereka. Untuk keduanya, bau durian juga bisa membuat
sepasang kekasih saling memikirkan dan merindu, menghadirkan getaran cinta yang
merayapi partikel udara, meluncur dan melaju ke tujuan yang sama dalam denyutan
semesta.3)
Mereka masih tak saling bicara saat tiba di tujuan. Angin
katulistiwa yang bertiup lembut, menerbangkan bau durian bercampur asap knalpot
motor sepanjang jalan.
Sejak membaca berita di sebuah koran, dia menjadi kurang
bergairah. Tapi untungnya ia mengerti kalau cinta tidak melulu harus
diselesaikan di ranjang.
Memang bukanlah durian yang mempertemukan mereka dulunya,
melainkan sebuah pantai di suatu malam. Tapi sejak menjadi sepasang kekasih,
tanpa malu-malu ia dan dia mengakui hobi masing-masing. Ya, keduanya sama-sama
doyan durian.
Hari ini pula, kesenangan mereka sedang terancam. Raungan chainsaw menebas rimba Kalimantan,
membabat situs-situs terakhir peninggalan nenek moyang atas nama peraturan.
Karena itu hari ini mereka bersepakat bahwa membabat
durian di pulau ini sama artinya mempercepat kemusnahan situs masa lalu,
sekaligus mempercepat kiamat di masa depan.
Dia tak bisa membayangkan, hidup seperti apa yang ia dan
dia serta anak cucunya jalani bila durian benar-benar punah dari pulau ini
kelak. Tentu saja orang bisa mengimpor durian, tetapi pastilah akan sangat
mahal dan tak bisa ditemukan dengan mudah di pinggir jalan. Takan lagi ada
durian Karangan4) yang baunya tajam, durian Sehak5) yang
rasanya berlemak. Oh, alangkah sepinya kota, jika tak ada lagi aroma durian
yang menyengat, tak ada lagi truk-truk pengangkut durian dari kampung-kampung
halaman, bahkan gunung paling terpencil di pedalaman Kalimantan Barat.
Oh, entah cinta macam apa yang akan mereka—dan juga
pasangan kekasih-pasangan kekasih lainnya di kota ini—jalani kelak, setelah
durian tiada, padahal mereka sangat menginginkannya, terutama setiap kali usai
bercinta kelak.
“Bang…”
“Hmmm..,”
“Benarkah ini musim durian terakhir?”
“Ya, jika pemerintah tidak segera mencabut kebijakannya”.
“Apa yang bisa kita lakukan bang?”
“Entahlah.”
Keduanya kembali diam. Hanya kecipak mulut ia dan dia
yang sedang sibuk melumat durian. Dua buah ludes dengan cepat. Alangkah anehnya
berpacaran sambil makan durian dan bercakap-cakap tentang masa depan yang
dibayang-bayangi teror dan kehancuran.
Yang wanita minta tambah sebuah lagi. Ia tersenyum dengan
sisa durian di sudut bibirnyayang seksi. Pedagang yang tadinya kurang peduli,
lekas-lekas menyodorkan Durian Tembaga6) sebesar kelapa. Durian yang
istimewa katanya. Durinya yang coklat runcing kekuning-kuningan masih tampak
sangat gagah.
Masih ada bekas tanah dan sisa daun tipis terselip di antara cela
duri. Seorang bocah mungkin berhasil menemukannya tergolek di rerumputan, lalu
menjualnya kepada pedang itu untuk biaya masuk sekolah. Baunya tajam mensuk
saraf. Membangkitkan selera paling purba sepasang kekasih yang sedang mabuk
kepayang.
Makan durian juga konon bisa meningkatkan stamina
kejantanan. Itu konon, tetapi sebaliknya ia dan dia selalu menggebu-gebu
bercinta, setiap kali mengingat durian.
Durian yang ini pasti asli masak di pohon sebelum jatuh
ke tanah.
“Ini durian Batang Tarang7), bang?”
“Bukan, ini durian Punggur8)”.
Ia dan dia sudah sangat berpengalaman memilih buah
durian. Sejak bertahun-tahun sebelum menjadi sepasang kekasih mereka memang
sudah terbiasa memilih durian. Durian Batang Tarang memang punya pamor lebih di
pasar. Padahal ada juga durian Balai Karangan, durian Sambih9), durian ini,
durian itu, yang diberi nama berdasarkan tempat asal durian tersebut.
Tak lama kemudian mereka terlibat diskusi lagi. Aku dan
Penjual durian pasang kuping lagi. (Aku sedang gelisah, dan cerpen ini belum
selesai ditulis)
CATATAN:
Ia dan dia adalah tokoh cerita yang diadopsi dari cerpen
seno Gumira Ajidarma yang berjudul Senja dan Sajak Cinta.
1) Kata-kata tersebut pernah ditulis Richard Sterling
dalam dalam The Travelling Curmudgoen
2) Yang dimaksud adalah Seno Gumira Ajidarma
3) Adopsi dari kalimat seno di cerpennya yang berjudul
Senja dan Sajak Cinta.
4) Durian yang berasal dari Balai Karangan, Kabupaten
Sanggau
5) Durian asal Sehak, Kabupaten Landak.
6) Nama Jenis Durian, seperti Durian Terong, Durian
Pinang dan lain-lain.
7) Durian asal Batang Tarang, Kabupaten Sanggau.
8) Durian Asal Punggur, Kabupaten Kubu Raya.
8) Durian Asal Punggur, Kabupaten Kubu Raya.
9) Durian asal Sambih, Kabupaten Landak.