Derap-Derap atawa Surchakku



Cerpen: Wisnu Pamungkas

Ini kuda: kukekang embun kesiangan
Derap apokalypsa menderu pergi
Sekeras angin batu-batu padas

Mata-mata pedang membalik tingkap
Memukul-mukul kota membayang
Itu kilat neon membenam di rusuk
(luka-luka terseret sepanjang jalan)

Sepuluh tahun. Sepuluh tahun
Ia datang masih menarik tali kekang
Sekeras angin batu-batu padas

Sepuluh tahun. Sepuluh tahun
(saat derap itu hilang di tikungan)

Aku tertegun. Kota sekarat dan gersang. Tak ada gerak hidup yang menandakan tempat ini dihuni manusia. Kota ini telah mati. Tapi mengapa? Bukankah surat Surchakku beberapa bulan lalu menceritakan kota yang begitu ramai, kota yang begitu indah? Tidak, tidak, sahabatku itu tak mungkin berdusta.

Lalu? Ya, papan panjang yang bertulis latin itu dapat terbaca dengan jelas meski usang dan mulai rusak. Tulisan tangan pahatan mata pisau itu terang mencekam, kata yang berupa untaian sajak sulit kupahami.
Aku tahu itu. Ah, aku ingat hanya Surchakku yang selalu menulis sajak seperti itu. Aku takkan pernah melupakan caranya menulis sajak. Jadi ia benar-benar berada di kota ini, tapi dimana? Jangankan manusia, hewan pun tak ada untuk bertanya.

Kubuka lagi surat Surchakku. Lainnya masih seperti kemarin-kemarin dan aku sudah mengetuk pintu rumah yang ia sebutkan sebagai alamat, tapi kemana Surchakku? Kemana orang-orang? Kemana hidup? Aku tertunduk lesu.

Kepalaku terasa berat dan padat oleh sesuatu, sementara hari kian sore. Sungguh aku merasa ganjil dan keanehan yang rumit kujelaskan. Sekali lagi aku menoleh ke arah papan tertulis latin yang terpampang di pinggir jalan dengan ukuran raksasa itu. Angin berhembus kencang menerbangkan debu-debu, sisa sejarah dan aroma kematian.

Sepuluh tahun. Sepuluh tahun. Aku tercengang membaca tulisan itu. Apakah yang sudah terjadi dengan tempat ini selama sepuluh tahun silam, saat Surchakku masih tinggal bersama kami di sebuah desa di pedalaman Kalimantan yang bernama Tinting.

Aku ingat sekali. Surchakku bukan dari suku atau ras kami. Matanya biru, kulitnya putih kemerah-merahan dan bahasanya tak satu pun yang aku mengerti, asing di telingaku waktu itu. Hanya rambutnya saja yang hitam seperti kami. Aku tak tahu dari dunia mana ia berasal. Ia datang pada musim hujan sepuluh tahun yang lalu. 

Ia masih sangat muda belia, dan kami sebaya. Menurut ceritanya ia adalah seorang sukarelawan yang tersesat dalam sebuah pertempuran sebelum terdampar di kampong kami.
Aku sebagai anak kepala suku sering mengajaknya menyaksikan pesta adat yang kami sebut gawai. Surchakku aman bersama suku kami karena ia mendapat perlindungan. Atas kehendak ayahku juga ia telah menjadi saudara angkatku.

Lama-kelamaan Surchakku terbiasa hidup seperti suku kami. Ia minum tuak dan berburu, bahkan ia juga bekerja di ladang, selama sepuluh tahun sebagai orang dayak.

Sepuluh tahun. Ya, sepuluh tahun, telah banyak mengajarkan makna hidup bagi kami, bagi aku dan Surchakku. Ia pernah bercerita kalau ia pandai naik kuda, tapi sayang di hutan belantara Kalimantan tak ada kuda. Ia pernah bercerita tentang tempat tinggalnya di sebuah dunia, di ujung bumi yang entah dimana. Ia juga pernah bercerita tentang kematian dan peperangan yang tak kunjung usai. Banyak hal aneh yang tidak aku ketahui waktu itu diceritakannya.

Sepuluh tahun. Sepuluh tahun ketika ia harus kembali ke dunia asalnya. Aku sedih dan aku juga saksikan kesenduan di wajahnya. Kami berpelukan sebagai saudara dan sahabat. Ia di jemput orang-orang bersenjata yang rupanya mirip dengan Surchakku. Mereka adalah orang-orang dari rasnya.
Belubah di’o menyadek. Gayu guru, gerai nyamai…,” katanya dalam bahasa Dayak yang begitu pasih.

Ia pergi dengan upacara adat sebagaimana cara kami melepas seseorang untuk kehidupan seeterusnya.
Aku dapat melihat ia tersedu mengusap matanya yang biru. Sebilah mandau terselip di punggungnya. Hanya itu.

Sepuluh tahun-sepuluh tahun. Telah mengoyak kebersamaan kami dan merusak mimpi kami pada gadis-gadis alam dalam kedewasaan dan kami harus melakukannya lagi seccara terpisah. Itu sungguh tak terbayangkan dalam dunia dan masa yang lain.

Aku tak pernah tahu dari mana ia dan sekarang kemana, bersama mimpi dan derap-derap kudanya dan itu telah sepuluh tahun tinggal bersama sajak-sajaknya yang banyak tercoret di bilik-bilik kulit kayu rumah kami.

“Baca ini, baca. Inikah tulisan Surchakku. Ia telah menjadi seorang penyair besar di dunianya...” kataku suatu hari pada ayah.

Keningnya berkerut, ia memang tidak bisa membaca dan buku-buku serta surat kabar amatlah langka dalam suku kami. Hanya anak-anak muda yang bersekolah ke kota yang pandai membaca. Merekalah yang biasa membawa buku-buku dan Koran-koran bekas itu. Ayah tak mengerti seperti ayah-ayah lain di kampong kami.

Suatu hari dalam hidup aku menerima surat dari luar negeri. dan itu telah mengantarkan aku terdampar di sebuah dunia lain yang asing mati.

“Surchakku, Surchakku di mana kau…..!!” pekikku mengusik kesunyian. Tak ada jawaban kecuali gaung suaraku sendiri yang ditelan kota.

Gelap merambat dari pucuk bagunan sisa terbakar. Senja dengan cepat bertukar malam. Di atas bulan beku menyeruak ke lorong-lorong di bawah rongsokan rumah-rumah yang entah milik siapa.
Aku menoleh ke arah papan besar yang bertulis latin itu lagi dan aku merinding melihat kuning bulan remang di sana. Aku baca, “itu kilat neon-neon membenam di rusuk,” ah di mana? Jangankan neon, pelita pun tak ada di balik-balik jendela rumah-rumah usang itu. Hanya sinar bulan pucat yang masih membuat aku dapat memandangnya.

Angin datang lagi. Itu, itu ada angin gersang, keras dan runcing. Ah, itulah batu-batu padas memukul-mukul kota mati dengan pohon-pohon yang mati dengan jalan-jaln yang mati pada suatu ketika dan suatu tempat yang tak kukenali. Ganjil menyekat darahku dan aku berusaha menoleh ke papan kayu yang menyimpan seribu Surchakku. Menyimpan seribu tanda. 

 Tapi di mana kau Surchakku? Adakah ia tahu aku hadir di sini membawa suratnya dan menengadah ke perut langit, mencari. Terasa lorong-lorong sunyi di balik tingkap merapat ke tanah retak-retak dan ke pohon-pohon kering.

“Dimana kau…?” Aku makin parau. Tak ada tanda, sejak aku turun ke sini dan berharap melihat duniamu. Melihat isi suratmu lebih dekat. Tapi mengapa mati?
“Sepuluh tahun. Sepuluh tahun Surchakku.”

Hanya pecahan kayu yang ada di sini. Banyak tonggak-tonggak. Aku tak dapat mengenalnya pasti.
“Sepuluh tahun. Sepuluh tahun.” Sungguh, ini berbeda dengan hutan di duniaku. Sepuluh tahun yang lalu, saat kita berburu babi dan rusa tapi di sini seperti banyak bekas-bekas kandang kuda. Surchakku, sungguh lain, sungguh berbeda. Sungguh lain ketika aku bercakap-cakap dengan sajakmu sepanjang hari di sungai, di gunung dan dimana saja aku bisa, tapi tidak di sini justru di tempatmu atau entah apa, aku tak mengerti apa-apa di bumimu.

“Hei Surchakku…….!”

Ini tidak adil. Dia tak pernah nampak, mengapa harus diam dan mati seperti makam-makam para leluhurmu. Ah, bukankah dulu dan sekarang Surchakku masih sahabat dan saudaraku tapi di mana?

“Hei, ini langit dan ranting-ranting mati serta bulan pucat masih bersinar diam-diam seperti menyembunyikan sebuah kehancuran yang pernah terjadi di sini. Tapi dimana seorang Surchakku?” aku limbung. Lelah sudah tapi aku terlanjur mencari sisa-sisa sepuluh tahun di balik tingkap-tingkap waktu. Memang, memang itu tak pernah jadi sejarah dan aku tahu itu tapi tonggak-tonggak kering itu telah mencatatnya dari waktu-ke waktu.

Aku menoleh lagi ke perut langit. Entah kapan aku datang di tengah kehancuran ini. Mungkin….hmmm surat itu sudah sepuluh bulan yang lalu. Mungkin juga 100 bulan yang lalu tapi ah, tak ada tanda-tanda dan waktu kecuali sajak di papan kayu di pinggir jalan itu. Maka aku membacanya lagi di kuning bulan yang makin pucat.
“Sepuluh tahun. Sepuluh tahun,” ya hanya sepuluh tahun tak lebih dari itu. Lalu di mana Surchakku? Ia telah menulisnya dengan sempurna. Ah aku ingat lagi sesuatu. Bukankah tidak mungkin kalau ia telah menulis sajak di papan kayu itu dengan ujung mata Mandau pemberian ayahku? Ya…ya,… aku akan cari dia di balik kata-kata itu. Meski aku letih pasti akan kucoba.

Aku mencoba memeriksa beberapa buah rumah kosong itu. Tak ada apa-apa kecuali gelap dan beberapa butir kuning bulan yang jatuh dari celah-celah atapnya. Ya Tuhan ada juga kaleng-kaleng bolong dan beberapa buah neon.

“Ini kota, kuburan?” Aku terlalu letih berpikir. Aku akan istirahat sejenak dan menyandarkan punggungku ke dinding sebab di luar telah lama dingin karena angin yang runcing dan sekeras padas telah datang lagi.

Malam terasa sudah begitu larut. Meski aku tak tidur, aku tak mampu mengukur seberapa larut ini malam. Angin tidak ada lagi, mungkin mereka sudah mati seperti sepuluh tahun yang terbawa oleh saudara dan sahabatku itu. 

Mungkin mereka juga lagi mengaso. Tapi yang kutahu adalah surat itu kosong melorot dari hati ke sendi yang terus diam di antara pucat bulan. Aku tahu sudah semuanya mati kecuali Surchakku, tapi dimana? Pepat sudah.

Dari tengah malam tiba-tiba terdengar derap kuda yang tak pernah aku punyai di hutan perburuanku selama sepuluh tahun kemudian, sepuluh tahun, kemudian sepuluh tahun.

“Surchakku kah?” pekikku. Dan aku berlari ke halaman menanti derap demi derap itu mendekat.
“Surchakkuuuuuuuuuuu…..”teriakku panjang mengerat gelap di tiap tikungan. Tak ada jawaban kecuali derap yang semakin keras dan tajam.

“Heiii, ini aku. Surchakkuuuuuu….”

Masih diam. Tak ada jawaban kecuali derap mengusir kerikil dan batu-batu yang berhembus dan berdesir di aortaku. Jelas sekali sebuah sosok hitam duduk di atas punggung seekor kuda jantan. Sungguh perkasa, bulan tiba-tiba padam, ia berkhianat padaku.

“Hei, jangan diam. Kamu Surchakku bukan………?”

Tak ada jawaban. Aku tidak tahu sosok bayang hitam yang hidup itu. Tiba-tiba ada sesuatu yang hadir di indraku. Ya, aku dapat merasakan kalau Surchakku ada di sini.

“Surchakku. Aku ini saudaramu dari belahan dunia sepuluh tahun yang lalu. Aku mencarimu sahabat…” aku tiba-tiba ingin memeluknya tapi bayangan itu dingin dan beku.

Ketika kuning bulan jatuh lagi, aku dapat melihat dengan jelas wajahnya di balik topi kulit yang lebar.
“Surchakku. Demi Tuhan bicaralah...”

Masih diam. Kudapun diam, semati malam kota atau entah apa namanya ini.

“Pulanglah. Aku adalah perampok. Lihat tempat ini, mati”.
“Kau…”
“Sudahlah,… sepuluh tahun. Sudah sepuluh tahun pun…”

Suara yang amat kukenal itu serak, lalu menarik tali kekangnya hingga tinggal derap-derap menghempas. Aku tercengang. Sempat kulihat matanya yang biru menyimpan pedang dan derap-derap itu yang kian menjauh dan kemudian hilang di tikungan tanpa dapat kucegah.

Sekarang aku mengerti kalau kuda-kuda di mata Surchakku dan pedang yang selalu diimpikannya telah lama mati karena ia tak pernah berderap di belantara perburuanku, di kubur-kubur leluhurku. Sepuluh tahun, Surchakku…..! sudahlah.

***

Catatan:
  • Versi bahasa Dayak Iban Ketungau  di link berikut ini.
  • Belubah di’o menyadek.Gayu-guru, gerai-nyamai.
  • Dalam bahasa Dayak Iban artinya: selamat jalan oh saudaraku. Semoga panjang umur dan sehat sejahtera. 
  • Mandau: Adalah nama senjata khas suku Dayak.
    Betang: Rumah adat suku Dayak, biasanya berbentuk panjang dan tinggi, terbuat dari kayu besi.
    Dipublikasikan di Harian Akcaya (sekarang telah menjadiPontianak Post) tahun 1994

  • Betang: Rumah adat suku Dayak, biasanya berbentuk panjang dan tinggi, terbuat dari kayu besi.
    Dipublikasikan di Harian Akcaya (sekarang telah menjadiPontianak Post) tahun 1994
  • Dipublikasikan di Harian Akcaya (sekarang telah menjadiPontianak Post) tahun 1994









Post a Comment

Thank you*

Related Posts

Buaya Pontianak, Mejeng di Sarawak
Read more
Sepertiga Garuda
Read more