Orang Miskin Terakhir

A. Alexander Mering

Di suatu saat, di suatu tempat yang entah kapan dan di mana, hiduplah seorang fakir miskin terakhir di dunia. Tidak perlu saya kisahkan bagaimana keadaannya hidup dalam kemiskinan yang semiskin-miskinnya. Yang pasti dia adalah orang miskin terakhir di planet ini, karena konon organisasi internasional dunia, PBB dan juga pemerintah negara-negara sudah lama berjaya membantu semua penduduk bumi keluar dari kemiskinan sejak berabad-abad yang lalu.
Maka miskin bukan lagi menjadi sesuatu yang memalukan dan perlu dihindari. Malah menjadi sesuatu yang dicari karena langka, bahkan beberapa NGO bekerjasama dengan agen-agen perjalanan menjadikannya objek wisata. Tentu saja tidak ada yang mahu hidup miskin. Tapi apabila ada pakar yang berbicara tentang kemiskinan dalam sebuah seminar, tiketnya langsung ludes dibeli. Karena pada saat itu kata miskin hampir menjadi mitos bahkan lengenda. Nyaris seperti mantra yang hampir terhapus dari ingatan manusia.
Karena itu, ketika orang miskin terakhir di dunia ditemukan, ia langsung dikarantina. Diperlakukan dengan khusus, seperti barang purba kala. Karena kemiskinan adalah sebuah fakta yang langka di dunia, bahkan ada yang menganggapnya sebagai muzizat.
“Kemiskinan adalah keajaiban,” kutip sebuah media.
Karena itu habitat orang miskin tersebut dilindungi dan dijadikan cagar budaya. Sekali lagi, tentu saja karena langka, harga yang harus dibayar para turis untuk melihatnya bukan main mahalnya. Tapi orang-orang tak peduli. Mereka datang dari seluruh pelosok dunia, berbondong-bondong ingin melihat orang miskin tersebut, seperti rombongan para peziarah.
Lagu dangdut Hamdan ATT yang bertajuk Orang Termiskin di Dunia dijadikan ikon, karena dianggap mewakili budaya kemiskinan dan belakangan dinyanyikan dalam berbagai versi bahasa.
Atas nama ilmu pengetahuan, para pakar juga tak mahu ketinggalan. Mereka membuat penelitian yang mereka sebut sebagai teori kosmologi kemiskinan. Karena dunia saat ini perlu mengetahui apa itu kemiskinan. Apakah ia semacam fosil? Dinosaurus? Virus? Atau kutukan roh-roh purba?
Demikianlah fikiran nakal saya ketika menghadiri public hearing yang diadakan BAPPENAS dan MCC Compact di Asrama Haji, akhir Pebruari 2010 lalu.
Saya sedih ketika mendengarkan pemaparan Ketua BAPEDA Kalbar, tentang kondisi Kalbar. Saya kuatir, Kalbar makin terpuruk dalam kemiskinan. Kalbar yang walau wilayahnya dua kali lipat lebih besar dari pulau jawa—yaitu 146.807 Km2—dan kaya Sumber Daya Alam (SDA), tapi menjadi propinsi termiskin di seluruh region Kalimantan. Dari 4, 18 juta jiwa yang mendiami provinsi ini, 9,30% penduduknya masih miskin. Sampai saat ini komposisi penduduk yang bekerja masih didominasi tamatan SLTP ke bawah, yaitu sekitar 81,88 persen. Orang miskin terbesar justru berada di desa, di kawasan perbatasan dengan negara tetangga Malaysia, mereka ditutuntut harus Nasionalis, sementara untuk hidup cuma dibekali bendera merah putih.Dari 1866 desa yang ada, 1292 atau 69, 24 % masih miskin. Sampai bulan Maret 2009 lalu, rata-rata orang desa cuma mampu mengantongi uang sekitar Rp 166.815 saja per bulan. Artinya penghasilan mereka tak sampai Rp 10.000 per hari. Bagaimana mungkin bisa cukup pangan, mendapat pelayanan kesehatan, pendidikan? Jangan ditanya soal kebutuhan akan perumahan, sanitasi, dan air bersih. Makin parah lagi mereka nyaris tak punya akses memanfaatkan SDA lagi, karena kini kebanyakan tanah mereka sudah dikuasai erkebunan besar, terutama kebun kelapa sawit. Tak kurang dari 332.000 hektar hutan sudah ludes dan disulap menjadi ladang sawit. Bahkan dari data Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GAPPI) hingga 2007 lalu saja, pemerintah kabupaten/kota se Kalbar sudah menerbitkan info lahan seluas 4,6 juta hektar.
Orang kampung semakin miskin. Api konflik dengan mudah disulutkan, korban trafficking berjatuhan, generasi terinveksi HIV/AID dan yang paling berbahaya jika kiamat lingkungan lebih cepat dari yang seharusnya karena lingkungan rusak parah.
Jika semua elemen yang berdiam di planet ini, terutama di pulau terbesar ketiga di dunia ini, khususnya di West Borneo ini tidak peduli, maka orang miskin Terakhir itu mungkin saja di temukan di Kalbar kelak. (publish in Borneo Tribune, 10 Maret 2010)
Next Post Previous Post
2 Comments
  • jimmy. Untan.BI 2007
    jimmy. Untan.BI 2007 March 25, 2010 at 7:53 PM

    saya mendengar kasus kemisikinan di daerah perbatasan itu mas mering. saya pernah mengetik laporan TNI AD 1206. dalam laporan itu tertulis ada TNI yang menjadi guru karena kekurangan guru, yang menjadi masalah lagi siswanya susah karena banyak yang merantau ke negara tetangga, dari data itu juga tertulis ada bayak sarjana di daerah itu tetapi malah bekerja di negara tetangga. saya jadi prihatin, yang salah pemerintah yang kurang memperhatikan masyarakatnya atau memang rakyat yang susah diatur, yang jelas masalah ini akan merusak nasionalisme serta SDM Indonesia. Nasionalismenya adalah mereka yang bekerja di sana mungkin akan lupa dengan merah putih, secara otomatis SDM yang ada akan hilang karena tidak diperhatikan........

  • Unknown
    Unknown April 17, 2010 at 1:48 PM

    sebnrnya yg miskin adlh otak yg menjadikan kemiskinan itu tontonan langka..

Add Comment
comment url