Vector Anto Narasoma by Mering, sumber photo nitastory.blogspot.com |
MENYATUKAN hati untuk berbicara kepada orang lain, suatu
kepatutan yang terjadi sehari-hari. Paling tidak, ketika kita jengkel kepada
seseorang yang tak kita sukai sikapnya, kita hanya bereaksi seperlunya saja.
Tapi berbicara kepada alam dan lingkungan, hanya hati dan
pikiran yang memberikan reaksi positif untuk kita tanyakan dari hal besar
hingga yang terkecil. Itu yang diungkap penyair Mering dalam puisinya berjudul
"Pohon Bulan Juni".
Kita seolah diajak menyaksikan film vabel yang
menjelaskan tentang hewan, tumbuh-tumbuhan
dan lingkungannya berdialog tentang moral kemanusiaan.
Tidak semua penyair mampu menulis dengan gaya seperti
ini. Bisa jadi karena Mering selalu dekat dengan alam dan seorang penyayang
binatang.
Dalam bait-bait awal ia menuturkan proses penceritaan
tentang burung-burung dan pepohonan yang saling berdialog.
Tentu saja, ini tak hanya sekadar ungkapan perasaan yang
hanya terkait dengan pikiran. Tapi muatan batinnya yang begitu kokoh untuk
selalu terbuka membicarakan sesuatu yang tidak berbicara menjadi suatu objek
yang berbicara.
…Di awal ramadhan
berkatalah sebatang pohon kepadaku/
bahwa inilah
saatnya dahan-dahan menyempurnakan
ranting/ agar terkukur bisa tafakur/ sebelum kelak daun-daun gugur
tersungkur ke tanah....
Uraian ini begitu dalam. Kita seolah diajak masuk ke
sel-sel kehidupan yang tak kita mengerti tentang apa yang bisa berbicara dan
siapa yang tak bicara.
Namun satu kesatuan yang digagas Mering menjadi sesuatu
yang "masuk akal".
Sebab, di masyarakat kita masih ada yang percaya kalau
dulu, entah tahun berapa dan abad keberapa, burung dan pepohonan bisa bicara.
Terlepas apakah kita percaya atau tidak terserah. Yang jelas ketika saya kecil
dulu, paman dan bibi selalu bercerita tentang kepiawaian Sang Kantjil melawan
sesuatu yang kekuatannya jauh lebih besar dari dirinya, buaya. Cerita ini tentu
dituturkan bahwa kancil, buaya dan hewan-hewan lainnya bisa bicara. Itulah
vabel.
Terlepas dari itu semua, Mering tidak menulis tentang
vabel. Ia bertutur secara puitik tentang moral dan keyakinan relejik (iman)
Apakah gagasan penyair menulis ini karena penuhnya
nilai-nilai didik di dalam batin dan pikirannya? Hanya dia sendiri yang mampu
menjawabnya.
Pada larik selanjutnya (bait lanjutan), penyair
menuturkan......
Berkatalah daun
kepada ranting/untuk segera menyempurnakan dahan/ untuk sepasang pipit bersarang/
dan rumah tempat mereka pulang/ setelah lelah mengitari langit...
Inti yang dipaparkan Mering benar-benar menyentuh
fenomena yang tak lazim. Tapi dari balik
tuturan itu berisi kandungan nilai kepedulian dan saling menolong antara pohon
dan burung-burung (pipit) untuk mengembanngkan habitat kehidupan.
Kemudian tuturan selanjutnya, ...Berkatalah pipit pada cuaca/ untuk segera menyempurnakan musim/ agar
gelap tak cepat datang/ menahan hujan yang terlalu rindu turun menjelang
maghrib....
Betapa saling peduli dan tolong menolong seperti ini
sudah jarang terlihat. Apalagi bagi masyarakat yang tinggal di perkotaan.
Seperti dikatakan penyair India Rabindranath Tagore, hilangnya rasa iba untuk saling menolong
adalah adanya kekerasan hidup untuk memenuhi kepentingan individu (perorangan)
..buku Psychologic of Human..terbitan Djambatan Djakarta 1950..hal 125.
Meski dalam strata kehidupan bermasyarakat keadaan
seperti ini salah besar, tapi bagi orang-orang pinggiran yang hidup dalam
masyarakat kota besar, lu..lu, gue..gue adalah kebutuhan untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarganya.
Dalam puisi ini Mering mengajak sesuatu yang lain. Ia
menyentuh rasa seseorang dengan kearifan melalui dialog-dialog vabel yang
begitu dalam.
Prof Dr Ateew dalam buku Sedjarah Melaju, mengatakan
bahwa kearifan seorang pengarang untuk mengembalikan proses hidup berdasar
kemanusiaan adalah mendefinisikannya lewat perumpamaan. Inilah yang dilakukan
Mering melalui puisinya Pohon Bulan Juni.
Dalam buku De Mottige terbitan NV Drukkerij V/H Koch
& Knuttel Rotterdam 1942, A Werumeus Buning mengatakan, setjara manusiawi
seorang manusia itu hidup dalam
kepedulian. Setiap ada persoalan jang mengemuka dan mengorbankan
kepentingan sosial, pasti ada kepedulian dari orang lain (hal..75).
Saya yakin, Mering tidak berpikir sejauh itu ketika ada
gagasan baginya untuk menulis puisi ini. Namun dari apa yang ia tuturkan
melalui kata-kata moral di dalamnya, kerangka persepsi kita akan berkembang
jauh.
Sebab dari lapisan bunyi dan kumparan citraan di
dalamnya, kesederhanaan puisi ini sangat mengartikan persepsi yang sangat luas.
Sebagai penulis, Mering tampak hati-hati menggunakan
bahasa terdidik. Dari diksi, metode kisahan serta muatan isinya sangat baik.
Seperti dikatakan B. Simorangkir-Simandjuntak, menulis
puisi itu tak sekadar mengungkap kisahan, tapi harus mampu memuat isi sebagai
pengadjaran moral. Ini jang sangat berat untuk dilakukan (Kesusteraan Indonesia
-- Jajasan Pembangunan Djakarta 1953).
Karena itu puisi ini sangat baik diresapi untuk
menajamkan rasa dan perasaan kita. Sebab hal paling mendasar untuk menggugah
apa yang ada di diri manusia itu pada hakikatnya untuk saling mempengaruhi.
Tinggal kita sendirilah yang menentukan apakah pengaruh
itu baik bagi pengembangan jiwa kita atau sebaliknya.
Namun yang pasti, corak dan metode kisahan bergaya vabel
ini sangat baik untuk diresapi, baik bagi pendidikan sastra maupun untuk
membangun kepedulian antarsesama.
Dari sisi bahasa dan dan pemilihan kata saya pikir sangat
baik. Hanya ada satu catatan, burung terkukur itu adalah tekukur. (*)
Juni 2018