Cover Buku |
Suatu hari di bulan Desember 2012 silam, Friederike Nehrkorn, seorang wartawati dari Jerman, datang menemui saya 1) .
Dia mengatakan perlu bahan untuk menulis paper
tentang dampak masifnya pembangunan perkebunan kelapa sawit
terhadap kehidupan
masyarakat adat di Kalimantan.
Saya pun langsung memboyongnya ke
Loncek untuk menyaksikan realitas yang sedang dicarinya. Dimana sejak
pemerintah memberikan izin pengelolaan hutan tahun 80-90-an, sebagian besar
kawasan hutan yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat Dayak di
Kalimantan telah berubah. Tak terkecuali
di Kampung Loncek, Desa Teluk Bakung, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu
Raya, Provinsi Kalimantan Barat.
Tak cuma hutan, sungai, dan bukit yang rusak, warga Dayak Salako di Kampung Loncek pun sudah terpapar berbagai patologi sosial. Sebab sebagian besar hutan tempat mereka hidup—bahkan sebelum Indonesia difikirkan—sudah disulap menjadi perkebunan kelapa sawit bersekala besar. 2)
Dari hasil penelitian yang
dipublikasikan Scientific Reports baru-baru
ini, diketahui tak kurang dari 18,7 juta hektare hutan telah digunduli antara
tahun 1973 hingga 2015 di Kalimantan. Dan perluasan perkebunan hutan industri sekitar
9,1 juta hektar, dengan rincian 11-13 persennya adalah dijadikan perkebunan sawit. 3)
Sang wartawati tak hanya
mewawancari para anak muda dan warga Loncek yang tengah berusaha bertahan di
sisa-sisa kehancuran sumber daya dan budaya mereka secara masif, dia bahkan
ikut makan durian dan menanam pohon karet.
Pada tahun yang sama, Paulus
Nokus—ketika itu dia adalah seorang mahasiswa S2—juga datang menemui saya. Katanya
dia ingin membuat penelitian tentang gerakan sosial para anak muda di
Kampung Loncek, dan melihatnya dari perspektif akademik.
Tentu saja saya sangat
gembira sebab merasa mendapat dukungan secara akademik saat melaksanakan
Program PNPM Peduli 4) di
Kampung Loncek. Nokus berjanji, hasil
penelitiannya akan terbitkan menjadi buku. Namun karena berbagai kesibukan,
buku dimaksud tak juga kunjung di-publish.
Nah, tiba-tiba di awal Juli 2018
lalu, Nokus datang lagi ketika saya sendiri sudah nyaris lupa. Dia mentraktir
saya dan menyampaikan cita-cita lamanya yang belum kesampaian, yaitu
menerbitkan buku tersebut.
Keseriusan Nokus membuat perasaan
saya menjadi rawan bercampur rindu. Rindu
karena teringat saat-saat bersama para anak muda Loncek berdiskusi
sambil menanti buah durian jatuh dari pohonnya, rindu mendengarkan kecipak ikan
disungai, menanam pohon karet sambil ngaur-ngidul, ngomong nonoh-nonoh. 5)
Tiba-tiba saja saya merasa
teramat kangen pada nyala api dalam mata anak-anak muda itu, yang sadar sedang
berada di ambang kekalahan, tetapi tetap saja kekeh tak mau menyerah.
Mereka berusaha melawan dengan cara yang cukup kreatif. Yaitu menanami kebun mereka dengan pohon
karet yang telah diberi nama. Kemudian mendokumentasikan budaya, menuliskan
sejarah kampung, dan gerakan mereka sendiri dalam bentuk buku kampung. Prinsipnya Dum spiro spero 6) ,
agik mansengat agik malawan 7) .
Bahkan saat pertama kali saya datang ke kampung itu dulu, mereka sedang berencana
melakukan demonstrasi dengan cara memagar jalan perusahaan sawit.
“Kalau pun kelak kampung kita ini
habis berganti sawit, setidaknya sejarahnya sudah tertulis. Dan orang-orang
akan tahu bahwa di sini pernah ada anak muda yang melakukan perlawanan meski
belum tentu kami menang,” ujar Edi Nawang, salah satu inisiator gerakan anak
muda yang menamakan dirinya Kelompok Tani Muda Palambon Pucuk Baguas (KTM PPB).
Organisasi inilah yang menjadi cikal-bakal
gerakan basis mereka, melakukan kerja-kerja kreatif. Mulai dari berkebun hingga
gerakan jurnalisme kampung melalui program PNPM Peduli yang dilaksanakan oleh Yayasan
Pemberdayaan PeFor Nusantara (YPPN) Pontianak bekerjasama dengan Kemitraan (Partnership
for Governance Reform), Jakarta.
Dua tahun saya tinggal disana,
menemani mereka, mengajar dan juga belajar berbagai hal yang ingin mereka
ketahui. Mulai dari pengorganisasian, pertanian organik, budidaya karet unggul
serta menulis sejarah, budaya dan tempat-tempat keramat yang masih ada dalam
memori kolektif mereka selaku generasi muda Dayak. Saya katakan pada mereka: “Jika hari ini kita kehilangan rumah kita
–yaitu hutan dan segala isinya- maka semakin kita kehilangan diri kita
sendiri.” 8)
Maka ketika Nokus menyodorkan
kembali draf buku ini untuk dibuatkan kata pengantarnya, saya seperti mengalami
dejavu. Sementara dalam rentang waktu 6 tahun itu, Loncek
dan masyarakatnya tentu saja sudah mengalami banyak perubahan. Saya sempat
berfikir untuk meminta penulis meng-update
lagi penelitiannya sebelum mencetaknya menjadi buku. Sebab bukan cuma saya,
pembaca pun pasti ingin tahu bagaimana kondisi sosial masyarakat di Kampung
Loncek era sekarang dan apa pula yang terjadi kepada para anak muda yang 6
tahun lalu seharusnya adalah para agen perubahan.
Karena, sebagaimana keadaan terkini
kehidupan masyarakat Dayak lain di pedalaman Kalimantan Barat, tentu tak akan mudah
untuk warga Loncek bertahan di sepetak kecil wilayah sisa perluasan perkebunan
sawit oleh pemodal yang izinnya tentu saja berasal dari pemerintah. Karena itu saya merasa rawan ketika diminta
menulis kata pengantar buku ini.
Alsan berikutnya adalah karena sudah
banyak peristiwa dan informasi tentang Loncek yang terlewatkan oleh saya
setelah sekian lama tidak tinggal di Kalimantan Barat. Tapi saya juga tetap
masih yakin—walau pun mungkin sudah tak lagi se-trengginas dulu—mereka pasti sangat marah ketika mengetahui tradisi
mereka ditunding oleh Kepala Pusat Data
Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo
Nugroho sebagai penyebab kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan bencana
kabut asap tahun 2018 ini di Kalimantan Barat. 9)
Bukan sekadar mengubar emosi,
tetapi karena dulu mereka adalah kelompok anak muda yang cukup kritis. Tahun 2015 mereka bahkan pernah menggerakan warga
kampung melakukan protes. Kasus itu terkait bembayaran lahan masyarakat Loncek oleh perusahaan sawit, yaitu PT Kusuma Alam
Sari yang juga melibatkan aparatur desa dan Kepala Dusun 10) .
Ada
banyak pengalaman yang saya catat dan tak terlupakan selama saya bekerja di
Loncek, Beberapa telah saya tulis berupa sajak, dan dua narasi dalam buku Kisah
Para Pendamping PNPM Peduli yang berjudul: Mereka yang Tak Pernah Menyerah. 11)
Selebihnya tentu dalam bentuk laporan proyek ke YPPN dan Kemitraan.
Untuk dapat menangkap atmosfir perubahan yang lebih baik dalam buku ini,
ada baiknya anda juga membaca kedua tulisan yang saya sebutkan di atas, yang
saya buat pada konteks dan kurun waktu buku ini ditulis.
Artikel terkait:
Perasaan rawan saya kian menjadi-jadi, manakala banyak sekali pertanyaan yang muncul di kepala, saat saya hendak menutup pengantar buku ini. Salah satunya adalah, “apakah gunanya sebuah perubahaan sosial, jika tak pernah sampai pada klimaks?” Tak ubahnya seperti buah nangka yang jatuh ke tanah sebelum masak. Karena itu, di buku ini saya menyebutnya jejak perubahan saja. Sebab perubahannya ketika itu sedang berproses tapi belum sepenuhnya sukses.
Tapi siapakah yang bertanggung
jawab terhadap setiap perubahaan? Apakah virus Auguste Comte 12)
si filsuf perancis itu yang terkenal pemarah? Siapakah yang benar-benar bisa mengendalikan
perubahan? Sebab dalam realitasnya, metabolisme sosial selalu lebih rakus dari apa
yang bisa kita bayangkan, dan ia akan memamah apa saja pada setiap peristiwa
perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu waspadalah saat
Anda membaca!
Jakarta,
September 2018
1) Selengkapnya silahkan baca Das schmutzige Geschäft
mit dem sauberen Öl –Palmölplantagen in Kalimantan
(https://alexandermering.blogspot.com/2018/05/alexander-mering-die-stimme-der-dayak.html)
2) Pengantar buku Loncek Baguas, Pontianak, Mata Enggang
Publishing, 2012
3) Mempelajari penyebab deforestasi di Kalimantan
Analisis citra satelit selama empat dekade (https://forestsnews.cifor.org/44242/mempelajari-penyebab-deforestasi-di-kalimantan?fnl=id)
4) Fase pertama program ini difasilitasi oleh PNPM
Support Facility (PSF) – World Bank. Pada Maret 2014, The Asia Foundation
ditetapkan sebagai mitra pengelola Program Peduli Fase II, dengan dana dari
Pemerintah Australia. Di era presiden Jokowidodo program ini berubah nama
menjadi Program Peduli (www.programpeduli.org)
5)
Artinya tak senonoh (bahasa prokem ala anak muda Loncek yang mereka gunakan
saat bercanda antar sesama anggota KTM PPB.
6)
Dari bahasa latin yang artinya selama saya masih bernapas, saya tetap berharap.
7)
Dari bahasa Dayak Salako yang berarti selagi nafas masih ada tetap akan
melakukan perlawanan.
8)
Kalimat saya ini kemudian dikutip oleh Friederike Nehrkorn dalam papernya Das schmutzige Geschäft mit dem sauberen Öl –Palmölplantagen in
Kalimantan
9)
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180824085127-20-324529/tradisi-gawai-serentak-malah-picu-kebakaran-hutan-di-kalbar
10)
https://kalbar.antaranews.com/berita/333756/masyarakat-loncek-minta-camat-fasilitasi-masalah-lahan
11)
Halaman 1 & halaman 51 dengan Judul Loncek Baguas dan Kunang-kunang
Kampung, Jakarta, 2014, Kemitraan
12)
Nama lengkapnya Isidore Marie Auguste François Xavier Comte, yang dianggap sebagai
dedengkotnya ilmu Sosilogi dan filsafat aliran positivisme.